Tentang Tidak Meremehkan Orang Lain dan Selalu Berprasangka Baik
Beberapa minggu lalu ramai kasus
tentang tindakan represif kepolisian terhadap kawan-kawan mahasiswa yang sedang
mengkritisi 3 tahun pemerintahan rezim. Sayangnya ada beberapa pihak yang
berkata nyinyir: 'ah, mahasiswa macam sudah bener aja. Ngurus diri sendiri aja
belum benar, malah sok-sokan mengkritik pemerintah. Kemudian kemarin lagi-lagi
terjadi pembubaran paksa terhadap kajian salah seorang ustadz oleh salah satu
ormas yang mengklaim diri sebagai yang paling toleran.
Tidak, saya tidak ingin
berkomentar tentang dua kasus tersebut walau sebenarnya sangat ingin. Tapi saya
ingin mengingatkan kepada diri saya sendiri untuk tidak meremehkan orang lain
dan selalu berprasangka baik.
Rasulullah pernah bersabda:
sampaikanlah dariku walau satu ayat. Lalu ada juga pepatah arab yang berbunyi:
lihatlah kepada apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan. Dari dua
perkataan tersebut yang bisa saya pahami adalah perintah untuk tidak meremehkan
orang lain dan selalu berprasangka baik.
Dari perkataan baginda Rasulullah
saya memahami dibalik semua keterbatasan kita, kita harus menyampaikan kebaikan
walau hanya secuil saja. Jika kita menghitung ayat yang ada pada Al-Qur'an,
maka kita akan bertemu angka 6000 lebih ayat. Sedangkan untuk hadits, jika kita
menilik kepada jumlah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari saja, maka di
sahihnya tercantum 7000 hadits. Belum jika dihitung selisihnya dengan jumlah
hadits yang diriwayatkan oleh imam muhaddits lain. Bahkan konon Imam Ahmad
menghafal satu juta hadits.
Dari sekian banyak ayat dan
hadits tersebut, berapakah yang Rasulullah minta untuk disampaikan oleh kita?
Hanya 1 saja. Satu ayat. Satu kebaikan. Beliau tidak minta kita menyampaikan
banyak-banyak. Cukup satu yang kita tahu. Dengan segala keterbatasan dan
kebodohan kita, jika kita menyampaikan satu ayat, maka itu cukup. Dengan segala
keburukan diri kita, jika kita menyampaikan satu hal yang baik, maka itu cukup.
Hal ini pun berhubungan dengan
peribahasa arab yang sudah disebutkan. Jangan lihat siapakah yang mengatakan,
tapi perhatikan apa yang dikatakan. Boleh jadi orang yang menyampaikan adalah
orang yang jahat atau ahli maksiat, mungkin juga yang menyampaikan adalah orang
yang pendidikannya masih dibawah kita, tapi selama yang disampaikan adalah
kebaikan, selama yang disampaikan mengandung hikmah dan pelajaran, maka tugas
kita adalah mendengarkannya. Bahkan Imam Syafi'i kecil pun mendengarkan nasihat
perampok yang berkata bahwa ilmu adalah yang tertanam dalam sanubari, bukan apa
yang tertulis di buku.
Kemudian apakah pantas kita
mencibir orang-orang yang ingin menyampaikan kebaikan kepada pemerintah? Apakah
pantas jika kita membubarkan suatu majlis ilmu hanya karena orang yang
menyampaikannya adalah anggota suatu kelompok tertentu? Saya rasa sangat tidak
pantas bagi kita untuk melakukan hal tersebut.
Komentar
Posting Komentar