Resonansi Saya Terhadap 2020


Kalau boleh, saya ingin mengumpati tahun ini dengan meminjam lirik Nadin Amizah yang sedang mengadu kepada ibunya: Bun, hidup berjalan seperti bajingan. Kenyataannya tidak seperti itu. Pertama-tama hal itu tidak mungkin saya lakukan, apalagi di depan Umi langsung, karena pasti nanti akan diomeli sebab sudah berkata kasar. Selain itu, saya juga tidak jadi mengumpat setelah menonton film terbaru dari Pixar berjudul Soul.

Aduh, bagus sekali film itu. Ceritanya tentang seorang pemusik yang tersasar ke alam baka dan menjadi jiwa gentayangan serta ingin kembali ke dunia. Di alam baka dia minta bantuan kepada seorang jiwa yang belum pernah dilahirkan ke dunia. Well, inti cerita dari filmnya sih sebenarnya simpel: gak usah ribet-ribet memikirkan hidupmu itu tujuannya apa, yang penting jalani saja dengan versi terbaik kamu. Nikmati setiap momen dan gak usah memusingkan diri dengan apa yang gak bakal bisa kita kontrol.

Sebisa mungkin prinsip nikmati setiap momen itu saya pegang. Dan tahun 2020 kemarin, Ya Tuhan, banyak sekali momen-momen yang patut dikenang.

Kalau bicara momen, pasti yang terlintas di pikiran kita adalah momen virus konoha eh corona yang menyerang kita semua. Ya, pandemic does left a big bold spot in our memories. Tujuh milyar manusia di bumi pasti punya kisah tersendiri terkait pandemi ini. Kalau bagi saya pribadi, tentu saja ikhtiar mencari penghidupan saya lewat ojek online yang paling terasa dampaknya sehingga untuk beberapa bulan saya sempat tidak ada income.

Selain itu yang paling patut dikenang di tahun ini adalah beresnya skripsi saya. Asal kalian semua tahu, saya ini sebenarnya nyaris saja didrop out oleh kampus. Alhamdulillah berkat Ketua Jurusan kuliah saya yang MasyaAllah sekali sabar dan baiknya terhadap mahasiswa itu, akhirnya skripsi yang tertunda dua tahun itu akhirnya selesai juga. Detailnya tak usah dijabarkan di sini lah ya. Biar kawan-kawan terdekat saja yang tau betapa kacaunya skripsi itu. Tapi berkat kebaikan hati para dosen, akhirnya saya bisa lulus juga.

Kalau dipikir-pikir, menyelesaikan kuliah selama tujuh tahun itu gila sekali ya. Untuk menaruh kegilaan itu di dalam perspektif, sini saya kasih contoh. Awal masuk kuliah di tahun 2013, saya masuk kuliah bersamaan dengan anak kelas 5 naik ke kelas 6 SD. Ketika saya beres tujuh tahun kemudian, anak 6 SD tersebut sudah jadi anak kuliahan baru. Edan!

Panduan antara beresnya skripsi dengan corona yang masih memeluk membuat saya seakan punya kesempatan untuk menikmati Malang seutuhnya. Walaupun sebenernya minggu-minggu terakhir hidup saya di Malang hanya mondar-mandir antara rumah budhe di Kalpataru dan kosan seorang kawan di Tegalgondo. Tetapi Kota Malang yang sepi seakan membuat dia kembali ke fitrah asalnya, kota dataran tinggi yang sejuk nan tenang.

Hingga akhirnya saya harus meninggalkan Kota Malang dengan mengendarai sepeda motor sampai rumah di Bekasi. Wuih, ini seru sekali. Saya di jalan selama 4 hari 3 malam dengan rincian semalam di Solo dan dua malam di Brebes. Alhamdulillah selama perjalanan ini selain memperhatikan banyak hal di jalanan saya juga berkesempatan menyambung silaturahmi ke beberapa teman dan menikmati hidangan lokal yang aduhai lezatnya. Mulai dari makan di Amir Fams Club di Solo, disuguhi bakso di Semarang, hingga mencoba blengong di Tegal. Meski saya sangat menikmati suguhan khas tersebut, yang paling terasa justru adalah kehangatan dari orang-orang yang membersamai ketika menyantap semuanya. Banyak cerita dan tawa yang mengalir deras dari kawan-kawan yang lama tak bersua di sela-sela suapan panganan.

Perjalanan selama 4 hari itu juga diniatkan sebagai persiapan mental untuk ke depannya kembali hidup di Bekasi. Nyatanya persiapan mental itu jauh dari cukup. Setibanya saya di Bekasi saya harus dihadapkan dengan kenyataan menjadi pengangguran yang hanya mengandalkan income dari pekerjaan serabutan. Sampai saat ini sudah sekitar 5 bulan saya hidup secara luntang-lantung tidak jelas.

Tanpa kegiatan rutin selama itu membuat saya banyak sendiri dengan fikiran yang liar. Akibatnya banyak fikiran-fikiran negatif yang menumpuk di kepala membuat keadaan mental cukup lemah dan rapuh. Mulai dari fikiran salah ambil jurusan, drama perasaan yang mengendap bertahun-tahun, masa kini yang terasa sia-sia, hingga fikiran masa depan yang masih gelap mulai menggerogoti pertahanan psikologis sedikit demi sedikit.

Hingga pada suatu malam, semuanya memuncak dan meledak secara tak terbendung.

Tapi ajaibnya setelah malam itu terlewati, kekhawatiran imajiner yang sebelumnya bersarang di kepala mulai redup geloranya. Ada ketenangan batin yang tiba-tiba datang dan seakan-akan menuntun sambil bilang, “Yaudah, kalo emang udah di luar kendali kamu, gapapa kok kalau dijalani dengan santai aja.” Dan memang, banyak hal yang sudah berada di luar kendali saya. Dalam skala kecil contohnya adalah masa lalu yang gak bisa diubah, nyari kerjaan yang emang gak semudah nyari bakso di Malang, hingga hubungan dengan manusia yang nanti entah akan jadi teman hidup atau cuma jadi pelajaran hidup. Dalam skala besar, apalagi kalau bukan serbuan virus yang membuat semua rencana yang kita buat menjadi berantakan.

Mungkin benar apa kata orang-orang. Menjadi dewasa gak sesempit kamu harus punya mental kuat yang siap menghadapi apapun, atau punya pola pikir yang bisa memperhitungkan dan merencanakan apa pun dengan matang. Menjadi dewasa juga berarti memiliki satu sosok di pojok nurani yang suatu saat bisa bilang: yaudah lah ya mau bagaimana lagi. Bukan berarti kita harus selalu pasrah dengan keadaan dan gak berusaha merubah apapun. Justru sosok itu yang nantinya akan keep us grounded dan mengingatkan bahwa memang ada beberapa hal mutlak yang cuma bisa diubah dengan campur tangan qadha dan qadar Allah.

Pada akhirnya, tahun yang berat ini mengajarkan kita banyak hal. Mengajarkan kalau di atas rencana manusia masih ada rencana Tuhan. Mengajarkan kita untuk selalu bersyukur, utamanya karena bisa melewati tahun ini dengan keadaan fisik dan psikis yang waras. Hingga mengajarkan untuk menghadapi problematika hidup secara lebih santai dan living it one moment at a time seperti kesimpulan akhir Joe Gardner di film Soul.


 

Komentar

  1. Setidaknya kamu ada bakat menulis yang gak semua orang punya 👍 good job bruh🙌

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. heh dari dulu saya normal ya tidak seperti anda hahah

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Antara Sang Koruptor dan Tuan Malaikat

LULLABY